MENYISIPKAN NILAI-NILAI AGAMA DALAM PEMBELAJARAN SAINS : SUATUALTERNATIF “MEMAGARI KEIMANAN
SISWA
Oleh
Tomo Djudin
(Fisika, PMIPA, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang
yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau
duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan (bertafakur) tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): Ya Rabb, kami tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran, 3:190-191).
Kata Kunci: Nilai Agama, Pembelajaran Sains, dan Keimanan
Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius.
Pernyataan ini secara eksplisit (tersurat) dapat diketahui dalam
Pembukaan dan pasal 29 ayat 1 UUD 45. Dasar konstitusional ini menjiwai dan dijabarkan dalam semua aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk dalam
pendidikan. Pendidikan sains (IPA) di
Indonesia bertujuan agar siswa memiliki keyakinan keteraturan alam Ciptaan-Nya dan keagungan
Tuhan Yang Mahaesa (Depdiknas,
2001:10). Menitipkan tujuan di atas pada pembelajaran sains adalah sungguh rasional dan tepat. Karena, banya ayat-ayat Qur`an yang memerintahkan agar kita
(manusia) memikirkan sebagian tanda-tanda
Kebesaran dan Keagungan-Nya
melalui penciptaan langit dan bumi,
juga berbagai fenomena dan peristiwa alam
(lihat, misalnya; Q.S. Ali Imran, 3: 190 191; Nuh, 71:13-20; An-Naml 27:70). Selain
alasan tersebut, memang sains (IPA)
pada hakikatnya adalah suatu tubuh pengetahuan
(a body of knowledge) yang mempelajari, memahami, dan menginvestigasi
peristiwa atau fenomena alam (dunia alamiah) dengan segala aspeknya yang
bersifat empiris dengan menggunakan metode ilmiah yang mengandung keterampilan
proses sains (Harlen, 1985:2-3; carin, 1997:5). Ada banyak nilai sains yang dapat
ditekankan ketika kita membantu anak mencobakan prosesdan ketika mempelajari
konten sains di dalam kelas. Enam di antaranya adalah nilai khusus yang menarik
bagi guru: nilai kebenaran, kebebasan, tidak mudah pecaya (skeptisme), keaslian
(originality) dalam berpikir dan mengemukakan pendapat, keteraturan, dan
komunikasi. Keenam nilai ini tidak hanya diperlukan dalam sains, tetapi pada
semua bidang (areas) pemahaman manusia lainnya (Abruscato, 1982:6-12).
Nilai yang lain yang terkandung dalam sains adalah nilai-nilai agama yang dapat
dikembangkan, misalnya dengan menyisipkan ayat-ayat Al-Qur`an (Kauniyah) yang
relevan dengan suatu topik atau bahasan tertentu dalam sains (IPA). Menyinggung masalah pembelajaran berarti
membahas pula fungsi dan peranan guru di sekolah (kelas). Hal ini merupakan suatu
kewajaran mengingat guru adalah ujung tombak proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Peran
guru dirasakan semakin penting di tengah-tengah keterbatasan sarana dan
prasarana belajar, misalnya buku-buku teks IPA yang terintegrasi nilai-nilai agama. Memang mutu pendidikan, hasil
belajar siswa, serta perubahan sikap siswa bukan hanya ditentukan oleh guru,
melainkam oleh banyak faktor, antara lain mutu masukan (siswa), sarana, dan
lingkungan keluarga, faktor-faktor instrumental lainnya. Tapi, semua itu pada
akhirnya bergantung pada mutu pengajaran dan mutu pengajaran tergantung pada
mutu guru (Dedi Supriadi, 1998:97).
Mengapa
Perlu Menyisipkan Nilai-Nilai Agama dalam Pendidikan Sains?
Dalam
buku teks IPA (Fisika, Biologi, Kimia, Bumi dan Antariksa) yang diterbitkan
oleh Depdiknas dan Penerbit swasta jarang, bahkan mungkin, tidak dijumpai
sentuhan-sentuhan nilai-nilai agama (ayat-ayat Al-Quran) yang dapat
mengantarkan anak untuk menagagungkan ciptaan-Nya melalui proses pembelajaran.
Hal ini wajar karena, mengingat buku-buku yang disusun dan diterbitkan tersebut
ditujukan untuk “konsumen” dengan latar agama dan sekolah yang berbeda-beda.
Akibatnya, nilai-nilai keagamaan yang dapat ditumbuh-kembangkan melalui pengajaran IPA di sekolah akan
menjadi “kering”. Kondisi ini akan semakin diperparah oleh rasa enggan,
rasa takut salah, dan merasa tidak memunyai tugas atau kewenangan dari pihak
guru untuk memberika penjelasan yang
memuat nilai-nilai agama (ayat-ayat
Al-Qur`an).
Salah satu upaya untuk menghindari
“kehampaan spiritual” dalam pembelajaran IPA, untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang konsep-konsep IPA
(yang sebenarnya adalah Sunatullah tentang
alam semesta, ayat-ayat kauniyah ), dan untuk meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan kepada sang Pencipta, adalah
dengan memberikan makna hukum-hukum fisika
berdasarkan nilai-nilai agama yang relevan dengan materi/bahan ajar dan
pembelajaran IPA, baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun dalam bahan
ajar. Dinyatakan bahwa apabila pengajaran IPA diintegrasi dengan pengajaran dan konsep-konsep yang lain,
maka kedua akan memperoleh keuntungan, misalnya, menjadikan pengajaran lebih
bermakna bagi siswa (Carin, 1997:242) dan akan lebih sesuai dengan kebutuhan
siswa Forgarty (1991). Menurut Achmad Baiquni (1997:19), pembinaan nilai-nilai
agama dan aqidah (keimanan) ini perlu dipupuk dan dibina di lingkungan anak,
remaja, dan orang tua.
Sains menurut Islam seharusnya
mengandung keajaiban alam yang luar biasa, beserta hukum-hukumnya yang teratur,
rapi, dan harmonis. Jadi, selain berperan penting
dalam menghasilkan berbagai teknologi dan produknya, sains (IPA) juga berperan
sebagai media pengenalan dan objek tafakkur manusia kepada Khalik-Nya.
Perintah untuk mentafakkuri dan merenungkan ciptaan Allah SWT di langit dan
bumi banyak ditemukan dan diperintahkan Allah dalam Al-Quran. Al-Quran mengajak
untuk berpikir dengan beragam redaksi (misalnya, tafakkur, tadzakkur,
tadabbur) tentang segala hal, kecuali tentang zat Allah SWT, karena
mencurahkan akal untuk memikirkan Zat-Nya adalah pemborosan energi akal,
mengingat pengetahuan tentang zat Allah tidak mungkin dicapai oleh manusia.
Manusia cukup memikirkan tentang ciptaan-ciptaan Allah di langit, di bumi, dan
dalam diri manusia sendiri (yusuf Qadhawi, 1998:42). Tafakkur adalah ibadah
yang bebas lepas, tidak terikat---kecuali tafakkur tentang Allah---oleh
belenggu apapun, baik faktor ruang dan waktu, tanda memandang apakah objek
tafakkur itu perkara atau hal yang lahir ataupun yang gaib. Tafakkur seorang
muslim. Para ulama sering mengajukan nasihat bahwa apabila seseorang
menginginkan perbuatan dan perilakunya tetap baik, ia harus mengawasi berbagai
pikiran dan niat dalam hatinya. Selain itu, ia juga hendaknya selalu berdzikir
kepada Alaah SWT serta bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi ( Malik
Badri, 1996:20).
Jika begitu tinggi kedudukan ibadah tafakkur
tentang ciptaan Allah SWT dalam Islam, alangkah meruginya orang-orang yang
menutup hati, pendengaran, mata, dan mata hati (pikiran)nya terhadap
tanda-tanda kekuasaan Allah swt. yang terhampar
luas dan jelas di hadapan mata mereka sejak pagi hingga sore hari dan malam
hari. Allah berfirman: “
Dan banyak sekali tanda-tanda
(kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka berpaling darinya” (Q.S 12:105). Bahkan,
sebagian dari orang-orang lalai ini mengetahui banyak tanda kekuasaan Allah
swt. dalam alam materi tentang energi
dan segala yang berkaitan dengan sains, akan tetapi pengetahuan mereka
itu hanya terbatas pada segi lahiriah, tidak lebih dari itu. Oleh karena itu,
alam ciptaan yang indah
dan agung ini tidak mampu menghantarkan mereka pada Tuhan yang menciptakan dan memeliharanya. Semoga Allah mengampuni
kesalahan orang-orang semacam itu, mungkin termasuk kita.
Sains modern dan sistem
pedidikan yang mengajarkan sains yang ada sekarang telah mengubah salah satu
peran sains yang penting ini. Hal ini dengan mudah dapat kita pahami
dari pengalaman kita ketika belajar sains sejak di bangku SD hingga perguruan tinggi. Salah satu permasalahan
pengajaran sains di Indonesia adalah kurangnya penyisipan dan kandungan makna, ruh,
bahkan perasaan dan akal di dalamnya, sehingga dapat menimbulkan kehampaan spiritual
Allah swt. serta bertafakkur tentang dalam dunia ilmiah (Rahmat Taufiq Hidayat,
2001:22). Ditegaskan oleh Otto Soemarwoto (1991:22) bahwa disadari atau tidak,
pemahaman dan pengertian manusia (dalam hal ini siswa) tentang alam yang lebih bersifat
sekuler dapat menyebabkan manusia
(siswa) melihat suatu permasalahan yang terkait dengan alam hanya dari sudut
kepentingan manusia saja. Jadi, adalah tugas kita, termasuk guru, untuk
membenahi pendidikan sains di sekolah agar para siswa yang mempelajarinya akan terdorong untuk
menjadi pribadi-pribadi yang memahami alam semesta dan mengagungkan Allah dan bertaqwa kepada-Nya.
Pemaparan sains
dalam buku-buku pelajaran dan penjelasannya oleh guru dan dosen sains telah
menghilangkan Allah sebagai pencipta
(Catur Sriherwanto, 2001:20). Ambil contoh, dalam pelajaran Fisika dipaparkan beberapa teori (misalnya; teori kabut dan Nebula) tentang asal usul tata surya, yang di dalamnya tidak ada satu pun yang menyentuh penyebab dari
segala sebab, yaitu
Allah Sang Khalik Rabbul Alamin. Belum lagi adanya teori seleksi alam dan
evolusi Darwin yang saat ini ternyata diragukan dan bahkan ditolak kebenarannya. Teori
tentang asal mula makhluk hidup adalah dari sel atau benda hidup (omne vivum ex ovo ) turut
mengaburkan pengakuan bahwa Allahlah pencipta semua yang ada di bumi dan di langit. Begitulah sifat teori, ia
tidak menghadirkan kebenaran mutlak (absolute) dan bersifat tentatif (sementara). Kata-kata Allah
atau hal-hal yang berhubungan dengan religius
telah hilang dalam wacana sains, sehingga sains telah
menjadi indoktrinasi ateisme dan materialism yang sangat besar
pengaruhnya. Bahkan dikalangan ilmuwan Barat pun ada yang mengakui secara jujur fakta ini.
Richard C. Lewontin,
seorang ahli genetika terkenal dari Universitas Harvard, AS misalnya, berkata: Bukan metode ilmiah dan penemuan-penemuan
ilmiah yang mendorong kami menerima penjelasan material
tentang dunia yang fenomenal ini.
Sebaliknya, kami dipaksa oleh keyakinan apriori kami terhadap prinsip-prinsip material untuk menciptakan perangkat penyelidikan dan konsep-konsep yang menghasilkan penjelasan
matrial, betapa pun bertentangan dengan intuisi, atau membingungkan orang-orang
yang tidak berpengetahuan. Lagi pula,
materialisme itu absolut, jadi kami tidak bisa membiarkan Kaki Tuhan masuk (dalam
Catur Sriherwanto, 2001: 21). Segala realitas adalah materi dan kehidupan adala sekadar reasi-reaksi
kimia. Kesadaran (emosi dan perasaan) tidak lah lebih dari fenomena yang akan
dapat dijelaskan secara fisika dan kimia. Begitulah sebagian pijakan berpikir
menurut paham fisikalisme dan materialisme. Padahal dalam Al-Qur`an jelas-jelas telah ditegaskan bahwa
reaksi alam itu selalu mengikuti aturan-aturan tertentu atau mengikuti
sunatullah, kehendak dan aturan-aturan Allah yang telah
ditetapkan-Nya pada saat penciptaan dan diikuti oleh alam semesta dengan taat. Alam kelihatannya
memunyai kehendak sendiri, karena ia selalu mengikuti sunatullah yang dikehandaki Sang
Maha Pencipta (Achmad Baiquni, 1997:78). Mudah sekali membuktikan dahsyatnya pengaruh ateisme.
Unsur “kebetulan” sering dijual untuk mencari konsensus dan persetujuan ilmiah
(universally scientific agreement)” untuk mengingkari penciptaan makhluk hidup dan alam semesta oleh
Tuhan Sang Pencipta. Tanyakan pada diri kita sendiri; Mudahkah kita mengingat Allah ketika
mempelajari sains? Apakah sains
yang telah kita pelajari membuat kita semakin mengenal bertaqwa kepada Allah?
Dengan sains yang
“menolak” Allah ini, tidak heran dapat menyebabkan manusia yang bergelut dengan
sains mengalami krisis. Krisis dalam pemikiran yang ada pada akhirnya terakumulasi maupun
ruhani (moral-spiritual) secara massal dan muncul dalam bentuk krisis
multidimensional, baik dalam skala nasional maupun internasional. Krisis
multidimensional yang dampak-dampaknya menyusup dan menyentuh setiap aspek kehidupan
kita---moral, kesehatan dan kehidupan, kualitas lingkungan, hubungan kemasyarakatan,
ekonomi, tekhnologi, dan politik.
Karena sains, pada umumnya, tak dapat
dikatakan netral karena mengandung nilai-nilai yang menyusup melalaui konsensu
para pakar yang mengembangkannya, yang sarat dengan nilai kebudayaan mereka,
dan karena sains telah lama terlepas dari tantangan umat Islam, Prof. Achmad
Baiquni (1997:274) maka tidak mengejutkan kita bila menganjurkan agar “sains di-
Islamkan”. Hal ini tidak berarti bahwa
kita harus mengubah rumus-rumus dalam sains itu yang kebenarannya telah terbukti melalalui eksperimentasi; atau
mengubah teorinya, melainkan kita harus “memagari” sains agar para siswa tidak terjerumus ke dalam
ajaran-ajaran yang bertantangan dengan agama kita. Jangan sampai nilai-nilai yang
tidak Islami dari sains mencemari keimanan dan ketaqwaan serta akidah para
siswa. Begitu banyak “bacaan” yang dapat kita pelajari di sekitar kita, baik
berupa kejadian atau peristiwa alam atau pengalaman-pengalamandari kita sendiri atau dari orang lain, atau dari sebuah
teori dari berbagai disiplin ilmu yang bisa ditarik untuk dijadikan pelajaran
dan peringatan, namun setelah itu kita kita dianjurkan untuk tetap membaca Al-Qur`an,
sebagai penyeimbang, agar kita tetap memiliki pegangan (akidah) yang kuat
sehingga tidak terjerumus dalam pemikiran-pemikiran yang keliru (Ary Ginanjar
Agustian, 2001:123-124). Kita yang terus-menerus menekankan kepada para siswa
bahwa sains didasarkan pada eksperimentasi dan observasi terhadap alam yang
tampak (empiris) dan tidak memunyai sekelumit pun pengetahuan tentang alam
gaib. Dengan demikian, wajar saja di dalam sains tidak pernah disebut nama (Asma)
Allah. Kita harus menjelaskan bahwa sains berkembang melalui berbagai tahapan.
Pada tahapan-tahapan tertentu mungkin saja konsensus dalam sains tidak sesuai,
atau bahkan bertentangan dengan isi Al-Qur`an. Akan tetapi karena sains
dikembangkan untuk mencari kebenaran, maka pada akhirnya ia akan bersesuaian
juga dengan Al-Qur`an. Sebab, ayat-ayat Allah dalam jagad raya yang diteliti
para saintis tidak mungkin bertentangan dengan ayatullah di dalam Al-Qur`an. Jikalau
terdapat perbedaan antara pandangan sains dan salah satu ayat Al-Qur`an, maka
ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama
adalah sains masih berada pada tahapan yang sesat pada saat itu karena
kurangnya data atau informasi yang bersangkutan
kurang benar (Achmad Baiquni, 1997:276).
Karena, untuk memahami
ayat-ayat Al-Qur`an yang menyangkut alam ini serta proses-proses alamiah di dalamnya,
dan yang dinyatakan secara garis besar itu, kita harus mempelajari dan meneliti
alam (mempelajari sains).
Penutup
Kita memang mengakui
bahwa sains (IPA) berperan penting dalam menghasilkan tekhnologi dan produknya yang bermanfaat
bagi kebutuhan hidup
manusia. Akan tetapi, ini bukan satu-satunya peran sains. Sebab, alam semesta
selain berfungsi memenuhi kebutuhan hidup, juga berfungsi sebagai ayat (tanda-tanda Kebesaran Allah)
yang mengenalkan manusia kepada Pencipta alam semesta tersebut dan beserta sifat-sifat-Nya. Perlunya menyisipkan nilai-nilai agama (ayat-ayat kauniyyah)
dalam pembelajaran sains (IPA) dapat didasarkan pada beberapa alasan: (1) untuk
menghindari kehampaan spiritual dalam pendidikan sains di sekolah dan dunia
ilmiah; (2) Fenomena alam yang ada dan terjadi di bumi dan di langit adalah
kajian sains dan sekaligus merupakan objek tafakkur terhadap Allah swt; (3)
dengan sains yang “menolak” Allah dapat menyebabkan manusia yang “bergelut”
dengan sains mengalami krisis
multidemensional; (4) Adanya beberapa pemaparan sains dalam buku-buku pelajaran (teori-teori dan penjelasannya) yang telah menghilangkan
Allah sebagai pencipta; (5) Untuk memahami ayat- ayat Al-Qur`an dinyatakan
secara garis besar menyangkut alam ini serta proses-proses alamiah di dalamnya,
kita harus mempelajari dan meneliti alam (mempelajari sains); (6) Sebagai upaya untuk “memagari” sains agar
para siswa tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran yang bertentangan dengan akidah dan keimanan
agama.
Karena menyampaikan kebenaran adalah kewajiban kita semua, apalagi yang
datangnya dari Sang Pencipta, Allah swt., maka ikhtiar kita (guru) menyisipkan berbagai
nilai-nilai dan pemaparan agama (ayat kauniyyah ) dalam pembelajaran IPA
khususnya (dalam lingkungan keluarga), pada pembelajaran mata pelajaran lain, secara
ikhlas karena mengharap Ridho-Nya semata, semoga akan bernilai ibadah. Adalah merupakan
suatu kewajiban bagi kalangan ilmuwan, sarjana, pelajar, mahasiswa, guru, dan
dosen yang ilmunya tentang makhluk ciptaan Allah “lebih baik atau komplet”
untuk mau dan mampu berdakwah melalui sains yang dimilikinya. Semoga Allah
memberikan Hidayah dan kekuatan kepada kita semua. Amin.
Daftar Pustaka
Abruscato, J. 1982.
Teaching Children Science. Prientice_Hall,Inc. Englewood Cliffs: New
Jersey, USA.
Achmad Baiquni.
1997. Al-Qur`an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Yogyakarta: PT. Dana
Bakti Prima Jasa.
Anas Abdul Hamid
Al-Quz. 1998. Ibnu Qayyim Berbicara Tentang Manusia dan Semesta
Ary Ginanjar
Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual
ESQ: Emotional Spiritual Quotient. Berdasarkan 6 Rukun Iman dan Rukun Islam.
Jakarta: Penerbit Arga.
Carin, R.B. 1997. Teaching
Modern Science (7 th edition). Merril
Prentice Hall: New Jersey, Columbus Ohio, USA.
Catur Sriherwanto.
2001. Membaca Ciptaan, Melupakan Pencipta. Jurnal MQ Pesantren Daarut Tauhid, vol. 1, No.7 (November) : Bandung.
Depdinas. 2001. Kurikulum
Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Fisika Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
Pusat Kurikulum Penelitian dan Pengembangan Depdiknas: Jakarta.
Fogarty, R. 1991.
The Mindful School. How to Integrate the Curricula. Palatine Skyliht
Publishing, Inc : Illionis, USA.
Harlen, W. 1985.
The Teaching of Science. Studies in Primary Education. David Fulton
Publishers : London.
Mahfuz Sodiq. 2000.
Pembelajaran Kimia pada Sub Pokok Bahasan Kajian Pencemaran Lingkungan yang Terintegrasi
dengan Nilai-Nilai Agama . Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.
Malik Badri. 1996.
Tafakkur Perspektif Psikologi Islam. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Moh. Rifa`i. 1997. Al-Qur`an,Terjemahan/Tafsir.
CW. Wicaksana: Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar