Jumat, 21 Desember 2012

JURNAL AGAMA


MENYISIPKAN NILAI-NILAI AGAMA DALAM PEMBELAJARAN SAINS : SUATUALTERNATIF “MEMAGARI KEIMANAN SISWA
                                                    
Oleh
Tomo Djudin
(Fisika, PMIPA, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan (bertafakur) tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Rabb, kami tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,  Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran, 3:190-191).

Kata Kunci:  Nilai Agama, Pembelajaran Sains, dan Keimanan

Pendahuluan
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius. Pernyataan ini secara eksplisit (tersurat) dapat diketahui dalam Pembukaan dan pasal 29 ayat 1 UUD 45. Dasar konstitusional ini menjiwai dan dijabarkan dalam semua aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat, termasuk dalam pendidikan. Pendidikan sains (IPA) di Indonesia bertujuan agar siswa memiliki keyakinan keteraturan alam Ciptaan-Nya dan keagungan Tuhan Yang Mahaesa (Depdiknas, 2001:10). Menitipkan tujuan di atas pada pembelajaran sains adalah sungguh rasional dan tepat. Karena, banya ayat-ayat Qur`an yang memerintahkan agar kita (manusia) memikirkan sebagian tanda-tanda Kebesaran dan Keagungan-Nya melalui penciptaan langit dan bumi, juga berbagai fenomena dan peristiwa alam (lihat, misalnya; Q.S. Ali Imran, 3: 190 191; Nuh, 71:13-20; An-Naml 27:70). Selain alasan tersebut, memang sains (IPA) pada hakikatnya adalah suatu tubuh pengetahuan (a body of knowledge) yang mempelajari, memahami, dan menginvestigasi peristiwa atau fenomena alam (dunia alamiah) dengan segala aspeknya yang bersifat empiris dengan menggunakan metode ilmiah yang mengandung keterampilan proses sains (Harlen, 1985:2-3; carin, 1997:5). Ada banyak nilai sains yang dapat ditekankan ketika kita membantu anak mencobakan prosesdan ketika mempelajari konten sains di dalam kelas. Enam di antaranya adalah nilai khusus yang menarik bagi guru: nilai kebenaran, kebebasan, tidak mudah pecaya (skeptisme), keaslian (originality) dalam berpikir dan mengemukakan pendapat, keteraturan, dan komunikasi. Keenam nilai ini tidak hanya diperlukan dalam sains, tetapi pada semua bidang (areas) pemahaman manusia lainnya (Abruscato, 1982:6-12). Nilai yang lain yang terkandung dalam sains adalah nilai-nilai agama yang dapat dikembangkan, misalnya dengan menyisipkan ayat-ayat Al-Qur`an (Kauniyah) yang relevan dengan suatu topik atau bahasan tertentu dalam sains (IPA). Menyinggung masalah pembelajaran berarti membahas pula fungsi dan peranan guru di sekolah (kelas). Hal ini merupakan suatu kewajaran mengingat guru adalah ujung tombak proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Peran guru dirasakan semakin penting di tengah-tengah keterbatasan sarana dan prasarana belajar, misalnya buku-buku teks IPA yang terintegrasi nilai-nilai agama. Memang mutu pendidikan, hasil belajar siswa, serta perubahan sikap siswa bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkam oleh banyak faktor, antara lain mutu masukan (siswa), sarana, dan lingkungan keluarga, faktor-faktor instrumental lainnya. Tapi, semua itu pada akhirnya bergantung pada mutu pengajaran dan mutu pengajaran tergantung pada mutu guru (Dedi Supriadi, 1998:97).

Mengapa Perlu Menyisipkan Nilai-Nilai Agama dalam Pendidikan Sains?
          Dalam buku teks IPA (Fisika, Biologi, Kimia, Bumi dan Antariksa) yang diterbitkan oleh Depdiknas dan Penerbit swasta jarang, bahkan mungkin, tidak dijumpai sentuhan-sentuhan nilai-nilai agama (ayat-ayat Al-Quran) yang dapat mengantarkan anak untuk menagagungkan ciptaan-Nya melalui proses pembelajaran. Hal ini wajar karena, mengingat buku-buku yang disusun dan diterbitkan tersebut ditujukan untuk “konsumen” dengan latar agama dan sekolah yang berbeda-beda. Akibatnya, nilai-nilai keagamaan yang dapat ditumbuh-kembangkan melalui pengajaran IPA di sekolah akan menjadi “kering”.  Kondisi ini akan semakin diperparah oleh rasa enggan, rasa takut salah, dan merasa tidak memunyai tugas atau kewenangan dari pihak guru untuk memberika  penjelasan yang memuat  nilai-nilai agama (ayat-ayat Al-Qur`an).
Salah satu upaya untuk menghindari “kehampaan spiritual” dalam pembelajaran IPA, untuk meningkatkan  pemahaman siswa tentang konsep-konsep IPA (yang sebenarnya adalah Sunatullah tentang alam semesta, ayat-ayat kauniyah ), dan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan  kepada sang Pencipta, adalah dengan memberikan makna hukum-hukum fisika berdasarkan nilai-nilai agama yang relevan dengan materi/bahan ajar dan pembelajaran IPA, baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun dalam bahan ajar. Dinyatakan bahwa apabila pengajaran IPA diintegrasi  dengan pengajaran dan konsep-konsep yang lain, maka kedua akan memperoleh keuntungan, misalnya, menjadikan pengajaran lebih bermakna bagi siswa (Carin, 1997:242) dan akan lebih sesuai dengan kebutuhan siswa Forgarty (1991). Menurut Achmad Baiquni (1997:19), pembinaan nilai-nilai agama dan aqidah (keimanan) ini perlu dipupuk dan dibina di lingkungan anak, remaja, dan orang tua.
Sains menurut Islam seharusnya mengandung keajaiban alam yang luar biasa, beserta hukum-hukumnya yang teratur, rapi, dan harmonis. Jadi, selain berperan penting dalam menghasilkan berbagai teknologi dan produknya, sains (IPA) juga berperan sebagai media pengenalan dan objek tafakkur manusia kepada Khalik-Nya. Perintah untuk mentafakkuri dan merenungkan ciptaan Allah SWT di langit dan bumi banyak ditemukan dan diperintahkan Allah dalam Al-Quran. Al-Quran mengajak untuk berpikir dengan beragam redaksi (misalnya, tafakkur, tadzakkur, tadabbur) tentang segala hal, kecuali tentang zat Allah SWT, karena mencurahkan akal untuk memikirkan Zat-Nya adalah pemborosan energi akal, mengingat pengetahuan tentang zat Allah tidak mungkin dicapai oleh manusia. Manusia cukup memikirkan tentang ciptaan-ciptaan Allah di langit, di bumi, dan dalam diri manusia sendiri (yusuf Qadhawi, 1998:42). Tafakkur adalah ibadah yang bebas lepas, tidak terikat---kecuali tafakkur tentang Allah---oleh belenggu apapun, baik faktor ruang dan waktu, tanda memandang apakah objek tafakkur itu perkara atau hal yang lahir ataupun yang gaib. Tafakkur seorang muslim. Para ulama sering mengajukan nasihat bahwa apabila seseorang menginginkan perbuatan dan perilakunya tetap baik, ia harus mengawasi berbagai pikiran dan niat dalam hatinya. Selain itu, ia juga hendaknya selalu berdzikir kepada Alaah SWT serta bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi ( Malik Badri, 1996:20).
Jika begitu tinggi kedudukan ibadah tafakkur tentang ciptaan Allah SWT dalam Islam, alangkah meruginya orang-orang yang menutup hati, pendengaran, mata, dan mata hati (pikiran)nya terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah swt. yang terhampar  luas dan jelas di hadapan mata mereka sejak pagi hingga sore hari dan malam hari. Allah berfirman: “ Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, sedang mereka berpaling darinya” (Q.S 12:105). Bahkan, sebagian dari orang-orang lalai ini mengetahui banyak tanda kekuasaan Allah swt. dalam alam materi tentang energi  dan segala yang berkaitan dengan sains, akan tetapi pengetahuan mereka itu hanya terbatas pada segi lahiriah, tidak lebih dari itu. Oleh karena itu, alam ciptaan yang indah dan agung ini tidak mampu menghantarkan mereka pada Tuhan yang menciptakan dan memeliharanya. Semoga Allah mengampuni kesalahan orang-orang semacam itu, mungkin termasuk kita.
Sains modern dan sistem pedidikan yang mengajarkan sains yang ada sekarang telah mengubah salah satu peran sains yang penting ini. Hal ini dengan mudah dapat kita pahami dari pengalaman kita ketika belajar sains sejak di bangku SD hingga perguruan tinggi. Salah satu permasalahan pengajaran sains di Indonesia adalah kurangnya penyisipan dan kandungan makna, ruh, bahkan perasaan dan akal di dalamnya, sehingga dapat menimbulkan kehampaan spiritual Allah swt. serta bertafakkur tentang dalam dunia ilmiah (Rahmat Taufiq Hidayat, 2001:22). Ditegaskan oleh Otto Soemarwoto (1991:22) bahwa disadari atau tidak, pemahaman dan pengertian manusia (dalam hal ini siswa) tentang alam yang lebih bersifat sekuler dapat  menyebabkan manusia (siswa) melihat suatu permasalahan yang terkait dengan alam hanya dari sudut kepentingan manusia saja. Jadi, adalah tugas kita, termasuk guru, untuk membenahi pendidikan sains di sekolah agar para siswa yang mempelajarinya akan terdorong untuk menjadi pribadi-pribadi yang memahami alam semesta dan mengagungkan Allah dan bertaqwa kepada-Nya.
Pemaparan sains dalam buku-buku pelajaran dan penjelasannya oleh guru dan dosen sains telah menghilangkan Allah sebagai pencipta (Catur Sriherwanto, 2001:20). Ambil contoh, dalam pelajaran Fisika dipaparkan beberapa teori (misalnya; teori kabut dan Nebula) tentang asal usul tata surya, yang di dalamnya tidak ada satu pun yang menyentuh penyebab dari segala sebab, yaitu Allah Sang Khalik Rabbul Alamin. Belum lagi adanya teori seleksi alam dan evolusi Darwin yang saat ini ternyata diragukan dan bahkan ditolak kebenarannya. Teori tentang asal mula makhluk hidup adalah dari sel atau benda hidup (omne vivum ex ovo ) turut mengaburkan pengakuan bahwa Allahlah pencipta semua yang ada di bumi dan di langit. Begitulah sifat teori, ia tidak menghadirkan kebenaran mutlak (absolute) dan bersifat tentatif (sementara). Kata-kata Allah atau hal-hal yang berhubungan dengan religius telah hilang dalam wacana sains, sehingga sains telah menjadi indoktrinasi ateisme dan materialism yang sangat besar pengaruhnya. Bahkan dikalangan ilmuwan Barat pun ada yang mengakui secara jujur fakta ini. Richard C. Lewontin, seorang ahli genetika terkenal dari Universitas Harvard, AS misalnya, berkata: Bukan metode ilmiah dan penemuan-penemuan ilmiah yang mendorong kami menerima penjelasan material tentang dunia yang fenomenal ini. Sebaliknya, kami dipaksa oleh keyakinan apriori kami terhadap prinsip-prinsip material untuk menciptakan perangkat penyelidikan dan konsep-konsep yang menghasilkan penjelasan matrial, betapa pun bertentangan dengan intuisi, atau membingungkan orang-orang yang tidak  berpengetahuan. Lagi pula, materialisme itu absolut, jadi kami tidak bisa membiarkan Kaki Tuhan masuk (dalam Catur Sriherwanto, 2001: 21). Segala realitas adalah materi dan kehidupan adala sekadar reasi-reaksi kimia. Kesadaran (emosi dan perasaan) tidak lah lebih dari fenomena yang akan dapat dijelaskan secara fisika dan kimia. Begitulah sebagian pijakan berpikir menurut paham fisikalisme dan materialisme. Padahal dalam Al-Qur`an jelas-jelas telah ditegaskan bahwa reaksi alam itu selalu mengikuti aturan-aturan tertentu atau mengikuti sunatullah, kehendak dan aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan-Nya pada saat penciptaan dan diikuti oleh alam semesta dengan taat. Alam kelihatannya memunyai kehendak sendiri, karena ia selalu mengikuti sunatullah yang dikehandaki Sang Maha Pencipta (Achmad Baiquni, 1997:78). Mudah sekali membuktikan dahsyatnya pengaruh ateisme. Unsur “kebetulan” sering dijual untuk mencari konsensus dan persetujuan ilmiah (universally scientific agreement)” untuk mengingkari penciptaan makhluk hidup dan alam semesta oleh Tuhan Sang Pencipta. Tanyakan pada diri kita sendiri; Mudahkah kita mengingat Allah ketika mempelajari sains? Apakah sains yang telah kita pelajari membuat kita semakin mengenal bertaqwa kepada Allah?
Dengan sains yang “menolak” Allah ini, tidak heran dapat menyebabkan manusia yang bergelut dengan sains mengalami krisis. Krisis dalam pemikiran yang ada pada akhirnya terakumulasi maupun ruhani (moral-spiritual) secara massal dan muncul dalam bentuk krisis multidimensional, baik dalam skala nasional maupun internasional. Krisis multidimensional yang dampak-dampaknya menyusup dan menyentuh setiap aspek kehidupan kita---moral, kesehatan dan kehidupan, kualitas lingkungan, hubungan kemasyarakatan, ekonomi, tekhnologi, dan politik.
Karena sains, pada umumnya, tak dapat dikatakan netral karena mengandung nilai-nilai yang menyusup melalaui konsensu para pakar yang mengembangkannya, yang sarat dengan nilai kebudayaan mereka, dan karena sains telah lama terlepas dari tantangan umat Islam, Prof. Achmad Baiquni (1997:274) maka tidak mengejutkan kita bila menganjurkan agar “sains di- Islamkan”. Hal  ini tidak berarti bahwa kita harus mengubah rumus-rumus dalam sains itu yang kebenarannya telah  terbukti melalalui eksperimentasi; atau mengubah teorinya, melainkan kita harus “memagari” sains  agar para siswa tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran yang bertantangan dengan agama kita. Jangan sampai nilai-nilai yang tidak Islami dari sains mencemari keimanan dan ketaqwaan serta akidah para siswa. Begitu banyak “bacaan” yang dapat kita pelajari di sekitar kita, baik berupa kejadian atau peristiwa alam atau pengalaman-pengalamandari kita sendiri atau dari orang lain, atau dari sebuah teori dari berbagai disiplin ilmu yang bisa ditarik untuk dijadikan pelajaran dan peringatan, namun setelah itu kita kita dianjurkan untuk tetap membaca Al-Qur`an, sebagai penyeimbang, agar kita tetap memiliki pegangan (akidah) yang kuat sehingga tidak terjerumus dalam pemikiran-pemikiran yang keliru (Ary Ginanjar Agustian, 2001:123-124). Kita yang terus-menerus menekankan kepada para siswa bahwa sains didasarkan pada eksperimentasi dan observasi terhadap alam yang tampak (empiris) dan tidak memunyai sekelumit pun pengetahuan tentang alam gaib. Dengan demikian, wajar saja di dalam sains tidak pernah disebut nama (Asma) Allah. Kita harus menjelaskan bahwa sains berkembang melalui berbagai tahapan. Pada tahapan-tahapan tertentu mungkin saja konsensus dalam sains tidak sesuai, atau bahkan bertentangan dengan isi Al-Qur`an. Akan tetapi karena sains dikembangkan untuk mencari kebenaran, maka pada akhirnya ia akan bersesuaian juga dengan Al-Qur`an. Sebab, ayat-ayat Allah dalam jagad raya yang diteliti para saintis tidak mungkin bertentangan dengan  ayatullah di dalam Al-Qur`an. Jikalau terdapat perbedaan antara pandangan sains dan salah satu ayat Al-Qur`an, maka ada dua kemungkinan.  Kemungkinan pertama adalah sains masih berada pada tahapan yang sesat pada saat itu karena kurangnya data atau informasi yang bersangkutan kurang benar (Achmad Baiquni, 1997:276). Karena, untuk memahami ayat-ayat Al-Qur`an yang menyangkut alam ini serta proses-proses alamiah di dalamnya, dan yang dinyatakan secara garis besar itu, kita harus mempelajari dan meneliti alam (mempelajari sains).

Penutup                    
Kita memang mengakui bahwa sains (IPA) berperan penting dalam menghasilkan tekhnologi dan produknya yang bermanfaat bagi kebutuhan hidup manusia. Akan tetapi, ini bukan satu-satunya peran sains. Sebab, alam semesta selain berfungsi memenuhi kebutuhan hidup, juga berfungsi sebagai ayat (tanda-tanda Kebesaran Allah) yang mengenalkan manusia kepada Pencipta alam semesta tersebut dan beserta sifat-sifat-Nya. Perlunya menyisipkan nilai-nilai agama (ayat-ayat kauniyyah) dalam pembelajaran sains (IPA) dapat didasarkan pada beberapa alasan: (1) untuk menghindari kehampaan spiritual dalam pendidikan sains di sekolah dan dunia ilmiah; (2) Fenomena alam yang ada dan terjadi di bumi dan di langit adalah kajian sains dan sekaligus merupakan objek tafakkur terhadap Allah swt; (3) dengan sains yang “menolak” Allah dapat menyebabkan manusia yang “bergelut” dengan sains  mengalami krisis multidemensional; (4) Adanya beberapa pemaparan sains dalam buku-buku pelajaran  (teori-teori dan penjelasannya) yang telah menghilangkan Allah sebagai pencipta; (5) Untuk memahami ayat- ayat Al-Qur`an dinyatakan secara garis besar menyangkut alam ini serta proses-proses alamiah di dalamnya, kita harus mempelajari dan meneliti alam (mempelajari sains); (6)  Sebagai upaya untuk “memagari” sains agar para siswa tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran yang  bertentangan dengan akidah dan keimanan agama.
Karena menyampaikan kebenaran adalah kewajiban kita semua, apalagi yang datangnya dari Sang Pencipta, Allah swt., maka ikhtiar kita (guru) menyisipkan berbagai nilai-nilai dan pemaparan agama (ayat kauniyyah ) dalam pembelajaran IPA khususnya (dalam lingkungan keluarga), pada pembelajaran mata pelajaran lain, secara ikhlas karena mengharap Ridho-Nya semata, semoga akan bernilai ibadah. Adalah merupakan suatu kewajiban bagi kalangan ilmuwan, sarjana, pelajar, mahasiswa, guru, dan dosen yang ilmunya tentang makhluk ciptaan Allah “lebih baik atau komplet” untuk mau dan mampu berdakwah melalui sains yang dimilikinya. Semoga Allah memberikan Hidayah dan kekuatan kepada kita semua. Amin.

Daftar Pustaka
Abruscato, J. 1982. Teaching Children Science. Prientice_Hall,Inc. Englewood Cliffs: New Jersey, USA.
Achmad Baiquni. 1997. Al-Qur`an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Prima Jasa.
Anas Abdul Hamid Al-Quz. 1998. Ibnu Qayyim Berbicara Tentang Manusia dan Semesta
Ary Ginanjar Agustian. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient. Berdasarkan 6 Rukun Iman dan Rukun Islam. Jakarta: Penerbit Arga.
Carin, R.B. 1997. Teaching Modern Science (7 th edition). Merril Prentice Hall: New Jersey, Columbus Ohio, USA.
Catur Sriherwanto. 2001. Membaca Ciptaan, Melupakan Pencipta. Jurnal MQ Pesantren Daarut Tauhid, vol. 1, No.7 (November) : Bandung.
Depdinas. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Fisika Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Pusat Kurikulum Penelitian dan Pengembangan Depdiknas: Jakarta.
Fogarty, R. 1991. The Mindful School. How to Integrate the Curricula. Palatine Skyliht Publishing, Inc : Illionis, USA.
Harlen, W. 1985. The Teaching of Science. Studies in Primary Education. David Fulton Publishers : London.
Mahfuz Sodiq. 2000. Pembelajaran Kimia pada Sub Pokok Bahasan Kajian Pencemaran Lingkungan yang Terintegrasi dengan Nilai-Nilai Agama . Tesis UPI Bandung. Tidak dipublikasikan.
Malik Badri. 1996. Tafakkur Perspektif Psikologi Islam. Remaja Rosdakarya: Bandung.
Moh. Rifa`i. 1997. Al-Qur`an,Terjemahan/Tafsir. CW. Wicaksana: Semarang.        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar