Ralasi Sains Modern & Sains Islam
RELASI SAINS MODERN DAN SAINS ISLAM
Suatu Upaya Pencarian Paradigma Baru
Moh Dahlan
Alumni Program Doktor
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract
The search for a new paradigm in building
relationships of modern science and
Islamic science uses the frame of mind Ian G. Barbour
which divides the relation
of knowledge (science) and religion into four
approaches: the firs is the approach of
conflict, the second is the approach of independence,
third, is the dialogue approach,
and the fourth is the integration approach. Of the
four types of approaches, new
paradigms of science can only be realized if
formulated based on the integration
approach. This integration approach is used to address
weaknesses and shortcomings
of modern science to achieve the new paradigm, so that
basic science has ontological, epistemological, and axiological
right.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan
perkembangan sains (ilmu pengetahuan) yang sangat pesat pada awalnya hanya
berlandaskan satu sumber, yaitu: filsafat. Namun berkat upaya pemikiran
manusia, pertumbuhan dan perkembangan sains menjadi semakin beraneka
ragam yang masing-masing ingin melepaskan diri dari induknya (Runes,
1976; Muhadjir, 2000, Mujani, 1996;
Bertens, 1999). Dari munculnya beragam sains itu, sains menjadi semakin
jauh dari realitas kefilsafatannya, yang kemudian sains hanya mengabdi
pada realitas sainstifik (keilmiahaan) saja ketika sains
telah mencapai era modern. Karakter epistemologis sains modern
adalah rasional-empiris-positivistik, sedang karakter ontologis sains modern adalah bersifat materialistik,
mekanistik dan atomistic (reduksionistik) (Kuntowijoyo, 1993). Dari karakter epistemologis dan
ontologism
ini, sains modern
lalu menjadi tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, tepatnya dalam tataran
oksiologis ia menjadi bebas nilai. Sains sebagai hasil
karya pemikiran manusia yang berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri
dituntut untuk mampu memberikan solusi yang positif. Sains itu harus
tumbuh dan berkembang dalam suasana kebebasan berpikir walaupun model
kebebasan berpikir itu sendiri masih perlu diperbincangka lebih lanjut (Syahrur, 1994 Barbour, 1996). H al ini
karena sains dalam perjalanannya berkembang ke arah argumen bahwa sains
(modern) itu netral, bahwa sains (ilmu pengetahuan) yang dalam tentang atom
bisa digunakan untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa untuk
menyembuhkan kanker, bahwa ilmu genetika bisa untuk
mengembangkan pertanian di dunia ketiga dan juga bisa menyaingi Tuhan
mulai dipertanyakan oleh para saintis (Bagir & Abidin, 1998). K arena itu
para saintis mulai menggulirkan wacana perlunya menempatkan sains dalam
realitas kebutuhan hidup dan fitrah manusia yang religius.
Kegelisahan para sainstis tersebut telah memunculkan upaya untuk mencari paradigma baru yang bisa
membangun hubungan sains dan agama (sebagai entitas kultural) dengan tidak menafikan salah satunya, tetapi justru
dengan
berupaya untuk
membangun interaksi yang konstruktif dan integratif. Namun demikian kita masih
meragukan kemampuan kaum agamawan (yang berprofesi saintis) dalam
memberikan jawaban dan solusi terhadap berbagai macam ketertinggalan yang
dialaminya. Keraguan ini dipicu oleh berbagai tawaran paradigmatik dari
kaum agamawan yang tidak memadai. Untuk itu, kita perlu berusaha keras
mencari paradigma lain yang mutakhir dan yang lebih memadai untuk menjawab
kebutuhan manusia di masa kini.
KERANGKA METODOLOGIS
RELASI SAINS DAN AGAMA
Secara garis besar,
Ian G. Barbour membagi relasi pengetahuan (sains) dan agama menjadi empat
pendekatan: Pertama , pendekatan konflik adalah pendekatan yang saling
menafikan di antara keduanya, yaitu agama dan pengetahuan (sains). Bagi pendekatan ini,
sains dan agama bertentangan. Kedua , pendekatan independensi yang menyebutkan
bahwa sains dan agama merupakan dua domain independen yang dapat hidup
bersama selama mempertahankan jarak aman satu sama lain. Karenanya,
semestinya tidak perlu ada konflik kerena
sains dan agama berada di domain yang berbeda. D i samping itu, pernyataan sains dan pernyataan agama
memiliki bahasa yang tidak bisa dipertentangkan karena pernyataan
maasing-masing melayani fungsi yang berbeda-beda dalam kehidupan manusia dan berusaha menjawab persoalan yang berbeda. Ketiga ,pendek atan
dialog berusaha membandingnkan antara metode agama dan sains yang kemudian
menunjukkan kemiripan dan perbedaan.
Model konseptualdan analogi dapat dipergunakan untuk menggambarkan hal-hal yang tidak dapat diamati secara
langsung (misalnya Tuhan). Sebagai
alternatifnya, dialog dapat terjadi ketika sains
menyentuh persoalan di luar wilayahnya sendiri. Pendekatan ini baru terjadi
ketika di antara keduanya saling membutuhkan, tetapi jika tidak
membutuhkan, tidak terjadi dialog. Keempat, pendekatan integrasi berusaha membangun
kemitraan yang lebih sistematis dan ekstensif antara sains dan agama yang
terjadi di kalangan orang yang mencari titik temu di antara keduanya
(Barbour 1996 & 2000 Yinger,1966).
SEJARAH SAINS
Pertumbuhan dan
perkembangan sains (ilmu pengetahuan) pada dasarnya tidak bisa dilihat dengan tiba-tiba
tanpa kita telusuri perjalanan dan kasifikasinya. Sebab setiap periode pertumbuhan dan perkembangannya memiliki ciri
khas
dan karakteristik
tersendiri yang tidak bisa disamakan dalam setiap periodenya. Karena itu untuk
memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan sains, kita harus melakukan
pembagian atau klasifikasi secara periodik. Sedang periodesasi itu
dimulai dari zaman Yunani.
ZAMAN YUNANI KUNO
(ABAD 7-2 SM)
Zaman Yunani ini
merupakan zaman keemasan bagi cikal bakal sains (ilmu pengetahuan) modern.
Yunani pada masa itu merupakan gudang sains dan filsafat, karena
bangsa Yunani tidak mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa Yunani tidak
menerima begitu saja fenomen yang dialaminya, tetapi ia selalu menumbuhkan sikap
kritis terhadap setiap fenomena kehidupan yang terjadi di dunia ini. Sikap kritis ini
telah melahirkan beberapa tokoh terkenal diantaranya: Pertama , Thales (624-548 SM)
mencoba mempertanyakan asal muasal alam semesta(ark é/ prinsip).
Pertanyaan inilah yang telah memunculkan berbagai macam jawaban yang hingga
kini tidak pernah selesai walaupun Thales menjawabnya dengan air karena
dianggap menjadi sumber kehidupan. Dalam bukunya tentang psikologi,
Aristoteles menjelaskan pendapat Thales yang lain, yaitu: semuanya penuh
dengan dewa-dewa . Aristoteles memperkirakan bahwa dengan perkataan
itu, Thales memaksudkan bahwa jagad raya berjiwa. Kedua adalah Pythagoras
(580-500 SM) yang mempunyai keahlian di bidang ilmu ukur dan yang
berpendapat bahwa bumi itu bundar dan tidak datar. Ketiga ,Sokrates
(470-399 SM) seorang tokoh dialektika yang telah membuka cakrawala berpikir orang-orang
pada masanya untuk tidak terjebak pada
hasil, tetapi seseorang har us selalu berproses. Keempat , D
emocritos (460-370 SM) mempunyai penemuan tentang atom.
Ia menjelaskan bahwa alam semesta berasal dari atom-atom. Kelima
, Plato (427-374 SM) menyelesaikan polem antara yang abadi ( being ) dan yang berubah (
becoming ), yang satu dan yang banyak. Yang memadukan
kesempurnaan ide-ide
dan kepastian matematis. Karena itu, Plato dikatakan eksponen rasionalisme ketika berbicara tentang metode sains dan seorang
idealis ketika berbicara tentang unsur aksiologis. Keenam, Aristoteles adalah
Murid, pengkritik, dan pener us Plato. Aristoteles memiliki pandangan metafisika
yang berbeda dengan Plato, baginya kenyataan adalah hal konkret itu.
Ide-ide seperti: Manusia , Pohon ,-seperti dikatakan Plato - tidak terdapat dalam
kenyataan. Selain itu, ia juga adalah ilmuwan dalam bidang logika (sylogisme) dan biologi (Mustansyir, 2001).
ZAMAN
PERTENGAHAN (ABAD 2-14 M)
Zaman Pertengahan
adalah yang ditandai oleh munculnya para teolog yang mengambil peran signifikan dalam bidang sains,
sehingga sains Zaman Pertengahan berkerja dan beroperasi untuk kepentingan
agama. Namun harus diakui bahwa banyak temuan dalam bidang ilmu yang
terjadi pada masa itu. Peradaban Islam, terutama pada zaman Bani Umayyah telah memasukkan satu cara pengamatan
astronomi pada abad 7 Masehi, 8 abad sebelum Galilieo dan Copernicus.
Singkatnya, sumbangan sarjana-sarjana
Islam dalam bidang sains dan kebudayaan
adalah: (a) mereka menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskannya,
sehingga dapat dikenal halayak ramai. (b) mereka memperluas
pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, astronomi, obat-obatan, dan ilmu lainnya. (c) menegaskan menegaskan
system decimal
dan dasar-dasar
aljabar (Mustansyir, 2001).
ZAMAN RENAISSANCE
(14-17 M)
Zaman ini ditandai
oleh kebangkitan kembali sains dari kungkungan dogma-dogma agama. Z aman ini
merupakan awal dari perkembangan sains modern saat ini. Tokoh-tokohnya diantaranya adalah (a) Roger Bacon yang
berpendapat
bahwa pengalaman empirik merupakan dasar dari kebenaran
sains. (b)
Copernicus yang
berpendapat bahwa bumi mengelilingi matahari. (c) Tycho Brahe menekuni
bidang astronomi dengan membuat alat-alat untuk melihat benda-benda angkasa.
(d) Johanners Keppler yang meneruskan ide-ide Brahe (heleosentris)
dengan mencetuskan teorinya; gerak benda bukan dengan cara circle, tetapi
dengan lintasan elips. (e) Fancis Bacon memasukkan metode eksperimentasi dan
juga tujuan sains dalam kehidupan. Disamping itu, ia juga menggabungkan
rasionalisme dan empirisisme dalam diri manusia. Sedang
nilai baru yang dimiliki oleh pemikiran Bacon adalah
bahwa pada zaman Yunani, tugas sains hanya
memahami alam, tetapi pemikiran sains Bacon telah menempatkan
unsur praktisnya juga dalam kerja sains (Abidin, 1998). Artinya, teknologi zaman Yunani masih belum terpikirkan
manfaatnya untuk kehidupan manusia
sehari-hari walaupun teknologi sudah ada, tetapi tidak memiliki posisi sedemikian tinggi. N ilai baru ini diperkuat oleh
pemisahan manusia dengan alam. Bacon berpendapat bahwa
untuk menyelidiki alam, manusia harus menempatkannya pada sebuah
posisi di mana alam dipaksa untuk memberikan jawabannya. Ini
merupakan awal dari terbentuknya filsafat mekanis yang melihat alam sebagai sebuah
mesin besar yang tidak memiliki tujuannya sendiri. (f)
Galileo Galilei
adalah tokoh kontroversial yang menegaskan kembali gagasan
Keppler (heleose
ntris). E ra G alileo merupakan era peletakkan dan pengembangan sains
yang kokoh yang ditandai dengan adanya metode observasi,
eliminasi, prediksi, pengukuran, dan
eksperimentasi (Mustansyir, 2001). Dengan metode
eksperimentasi Bacon, Galileo membawanya ke dalam praktik dan
mempertentangkannya dengan tradisi keilmuan Yunani. Pada era Galileo ini pula
terdapat pergeseran paradigma dari pertanyaan mengapa
dalam
tradisi Yunani ke bagaimana
yang menekankan eksperimen; sebuah pergeseran dari kualitatif ke
kuantitatif. Dalam praktiknya, penelitian-penelitian itu lebih ditujukan kepada
hal-hal yang bisa diukur saja, yang lainnya diabaikan (Abidin,
1998).
PERMASALAHAN SAINS
MODERN
Sains Barat,
khususnya sains modern, telah memunculkan pola pikir yang pada akhirnya telah membentuk
pola tindakannya. Sains modern sebagai anti-tesa sains Abad
Pertengahan telah membentuk pola dominasi tersendiri, yaitu rasionalisme dan
empirisme. Rasionalisme dan empirisme inilah yang menjadi pilar utama metode
(epistem) sains dalam memberikan penilaian terhadap seluruh kerjanya, baik
menyangkut kepentingan orang banyak maupun perseorangan, dan bahkan juga
masalah agama. Realitas ini tidak bisa dilepaskan dari tuntutan sains yang ingin melepaskan
diri dari kungkungan agama sebagai dogma. Karenanya nalar
indrawi yang pernah digalakkan oleh Yunani klasik mendapat momentum baru untuk
bangkit kembali. Walaupun bangkitnya juga menghadapi permasalahan dan
perlu terus diperbincangkan karena sains sebagai metode mencapai pengetahuan
mempunyai orientasi hanya pada pengamatan empiris-positivis. Akibatnya,
realitas lain tidak bisa diamati dan digali secara memadai. Karenanya era ini
juga sering disebut dengan era materialistik, mekanistik, dan atomistik
sebagaimana akan dijelaskan pada bagian di bawah ini.
MATERIALISTIK
Berbicara mengenai
sains yang berada di bawah ini mempunyai tiga titik tolak
yang menjadi dasar
bagi pembangunan sains. (a) pertanyaan yang berkaitan dengan asal-usul
alam semesta ini yang menguraikan tentang alam semesta ini yang terdiri dari
tiga unsur: materi, ruang, dan waktu. Materi tersusun dari atom-atom yang terikat
satu sama lainnya. Sedangkan ruang dan waktu adalah absolute, artinya
akan selalu ada juga andaikata materi di alam raya ini musnah. Baik ruang dan waktu
tidak terbatas, universal, dan tidak dapat berubah. (b) pertanyaan ini
berkisar pada persoalan perubahan yang
membahas tentang perubahan-perubahan yang
dimengerti sebagai perpisahan, penggabungan dan pergerakan, dengan
berbagai variasinya dari partikel yang tetap tadi. (c) pertanyaan terakhir mengurai
tentang terjadinya perubahan-perubahan. Semua hal itu terlaksana
dalam hukum-hukum fisika yang mengatur persoalan materi dalam ruang dan
waktu yang absolute. Implikasi pertanyaan ini adalah, bahwa para ilmuwan
hanyalah sekedar penonton yang berada di luar system tersebut. Seluruh alam semesta
dan materi dapat dimengerti tanpa harus diantar oleh pikiran (Soetomo,
1995). Salah satu tokoh yang menegaskan pentingnya materi adalah Descartes
yang melihat bahwa semua mahluk material adalah semacam mesin yang diatur
oleh hukum-hukum mekanis yang sama; tubuh manusia terdiri atas materi
yang tak lebih daripada yang ada pada hewan dan tumbuhan. Walaupun era ini
diakui dunia spiritual, tetapi dominasi dunia material tidak bisa dikalahkan.
Realitas ini merupakan awal dari adanya era sekularisme.
MEKANISTIK
Setelah Descartes,
muncul Isaac Newton yang membawa filsafat mekanis yang sebelumnya diusulkan
oleh Coperniscus, Bacon, Galileo dan Descartes-ke dalam praktik sains, dan
kembali merumuskan pandangannya tentang Tuhan dan alam. System
berpikir yang dirumuskan Newton inilah yang kemudian dipandang sebagai
bentuk akhir filsafat mekanis. Masa ini dipandang sebagai peralihan dari
nilai-nilai lama ke yang baru, dengan
sains modern sebagai perwujudannya.
Sedang keberhasilan sains modern didukung oleh kelompok borjuis yang
mempunyai kepentingan untuk mengeksploitasi alam demi mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya dan menganggap alam sebagai benda mati (Abidin, 1998).
Implikasinya, dunia modern telah menempatkan semua realitas kehidupan
manusia dengan ukuran rasionalitas yang otonom dengan berdasarkan
bukti-bukti empiris saja. Inilah praktik tipikal dunia
modern. Para sainstis hanya berkerja dalam tataran konseptual-obyektif,
netral, dan tanpa ada intervensi dari para saintis untuk mengendalikan sains.
Ini menunjukkan bahwa saintisme telah meletakkan dasar-dasar berpikir yang
hanya berpijak pada eksperimen dan hitungan matematis sebagai ukuran
ilmiah atau tidaknya sebuah hasil pemikiran atau penelitian. Demikian juga
masyarakat industri tinggi akan selalu meletakkan fakta dan abstraksi
kuantitatif (baca: positivisme) yang diakui eksistensinya oleh sains yang mekanistik dan reduksionistik.
Ironisnya ilmu-ilmu humaniora menjadi sangat kuantitatif
dan pengalaman manusia selalu diukur hanya dengan hitungan matematis tanpa
mengikutsertakan unsur lain (Rahardjo, 1966).
ATOMISTIK
Realitas zaman ini
menunjukkan adanya tuntutan akan adanya sebuah upaya
mengkhususkan dan
spesialisasi yang tinggi, sehingga sains menjadi benar-benar bersifat
terpish-pisah dan tanpa ada dialog sedikit-pun antar satu elemendengan elemen lainnya.
Zaman ini hanya mengenal eksperimentasi dan ilmuatau sains yang tidak
berdasarkan eksperimen dianggap tidak ilmiah (Abidin,1998).
Pendekatan ini juga telah menyebabkan reduksi besar-besaran terhadap sains (ilmu
pengetahuan). Pendekatan sains (analitis) memecahkan masalah menjadi unit-unit
paling sederhana, dan lalu menyusunnya kembali menjadi kesatuan- seperti yang
disarankan oleh Descartes, tidak dapat berguna dengan baik jika urusan
dengan obyek-obyek kompleks seperti benda hidup. Karena itu sains menjadi
terlalu terbatas dan permasalahan-permasalahan manusia lolos dari analisis sains.
Dalam kajian tetang manusia, misalnya, sains modern dengan penekanannya pada
unit, kelompok, dan populasi daripada individu; pada pemisahan daripada
keterlibatan memiliki cacat yang cukup serius (Anes & Danies, 1995) Dari hal tersebut, teori
obyektif yang berkembang seperti teori
Descartes
terus mendapat
gugatan. Gugatan itu muncul karena ilmu pengetahuan (sains) hanya bisa dibilang
obyektif jika, antara lain, tidak tercampuri oleh keyakinan-keyakinan atau
nilai-nilai manusia: obyektif, memang, berarti sesuai belaka dengan obyek a priori,
dengan fakta telanjang. Serang terhadap teori-teori ini semakin gencar dilakukan oleh para
sainstis mengingat sains menjadi terlalu liar dalam menjawab kebutuhan
hidup manusia. Tesis pokok yang sering dikemukakan adalah bahwa manusia menciptakan dunia sebagaimana yang ia pahami dengan pencerapannya. Bukannya karena tidak ada realitas di luar diri
manusia, tetapi karena manusia menyeleksi realitas yang dilihat sesuai
dengan kepercayaannya tentang dunia macam apa tempat
ia hidup. Sebagai contoh, orang yang percaya bahwa jika sesuatu
itu baik untuk anda, maka lebih banyak lebih baik , akan merasa tak bersalah
untuk mengeksploitasi alam habis-habisan. Yang harus dilakukan manusia
untuk mengubah kepercayaan berdasarkan pencerapan itu, yang dikatakan oleh
Bateson sebagai premis-premis epistemologisnya, adalah bahwa manusia
pertama kali mesti waspada bahwa realitas tidak seharusnya seperti yang
dipercayainya.
Karenanya Syed
Naquib Al-Attas menyatakan bahwa visi intelektual dan psikologis dari
peradaban itulah yang memainkan peranan menentukan dalam perumusan dan
penyebaran sains sejati. Hal ini sekaligus mengkritik adanya asumsi bahwa
rasionalisme ilmiah yang tidak pernah berubah telah membuat segala sesuatu
dengan cara yang eksakta hingga manusia tidak mempunyai kekuatan intervensi
untuk kepentingan dirinya. Realitas sains yang tertutup dan yang hanya mengabdi
pada kepentingan kekuasaan telah menciptakan ketidakadilan di
dunia ini (Crick, 1994) Wajah sains ini tentu tidak bisa dilepaskan dari faktor
paradigma sains modern yang telah menempatkan manusia sebagai realitas material
belaka, sains modern (baca: kisah lama) mencari analogi-analogi antara tingkah laku
manusia dengan cara kerja mesin. Sebagaimana mesin mempunyai daya
penggerak, misalnya dalam rupa uap air, listrik ataupun proses pembakaran, dalam diri manusia juga terdapat insting-insting
dan hasrat-hasrat yang merupakan pusat tindakan manusia. Pikiran manusia dianggap
tidak mampu mengambil peranan untuk mengatur semuanya karena pikiran pada
hakekatnya adalah produk dari materi. Maka satu-satunya kunci untuk memahami
psikologi manusia adalah insting dan hasrat sebagai sumber kekuatan
pengatur manusia yang utama. Dalam sains modern tidak diakui adanya insting
yang paling dasar. Mereka hanya disebut sebagai takut akan kematian (Hobbes), kelaparan
(Malthus), ataupun insting seks (Freud). Demikian juga pandangan Hobbes,
yang sangat dipengaruhi oleh Galileo, sangat mengagumi ilmu eksperimental dan ingin menerapkan
materialisme pada manusia dengan harapan mampu memperoleh sebuah
pemahaman baru
mengenai manusia
yang dianggap sebagai materi belaka. Demikian juga Freud yang juga
terpengaruh oleh Hobbes tentang anggapan bahwa manusia adalah materi belaka. Dari uraian
tersebut, karakter sains modern pada dasarnya memiliki problem dalam hal ontologis,
epistemologis dan aksiologisnya. Pertama , problem ontologisnya muncul karena sains
modern bercorak materialistik, mekanistik dan atomistik. Kedua
, problem epistemologisnya muncul karena sains modern bercorak rasionalistik dan empirisis-positivistik
dalam mengamati realitas kongkret. Ketiga ,
problem aksiologisnya muncul karena sains modern itu menganut paham bebas
nilai, humanistik, dan individualistik.(Bagus, 2000; Honer & Hunt, 1997;
Abdullah, 1996)
RESPONS ISLAM
Ketika agama pertama
kali berjumpa dengan sains modern, perjumpaan itu bersifat bersahabat. Kebanyakan penggagas revolusi ilmiah
(sainstifik) adalah orang-orang Kristen taat yang berkeyakinan bahwa tujuan kerja pada
hakikatnya
adalah mempelajari
ciptaan Tuhan. Pada abad ke-18, beberapa ilmuwan berkeyakinan bahwa
Tuhan Sang pencipta Perancang Alam Semesta-bukan lagi Tuhan yang
personal-terlibat aktif dalam kehidupan manusia dan dunia. Pada abad ke-19,
sejumlah ilmuwan mengabaikan agama-kendati pun Darwin sendiri masih
berkeyakinan bahwa proses evolusi (bukan detail dari spesies tertentu) merupakan
kehendak Tuhan itu sendiri( Barbour, 2000). Namun demikian, ketika sains menampakkan cara kerja dan
produknya yang
bersifat konfliktual, yang mengancam
norma-norma ajaran agama yan dianggap baku,
muncullah berbagai variasi paradigma di
kalangan agamawan untuk menjawab
perkembangan sains yang pesat itu. Meski jawaban kaum agamawan hingga saaat ini masih terus mengekor kepada sains,
karena mereka tidak mampu mengejar kemajuan dan perkembangan sains yang
mempunyai hitung-hitungan pasti, sementara itu agama tidak mempunyai
hitung-hitungan pasti.
Di tengah-tengah
gempuran arus rasionalisme, empirisisme dan positivisme tersebut, kaum
agamawan berusaha mencari alternatif yang genuine untuk mengejar
ketertinggalan yang dialaminya, baik dengan wujud menerima sains modern maupun
mengkritiknya.
Menurut Pervez H
oodhhoy, respons para saintis Islam terhadap sains modern yang bisa digunakan
untuk memberikan kerangka analisis yang berguna bagi kita untuk
menelaah persoalan-persoalan berkembangnya
suatu masyarakat yang rasional dan
yang berorientasi sains di dunia Islam setidaknya terdapat tiga kelompok.(Hoodhboy, 1996).
KAUM RESTORASIONIS
Bagi kaum Muslim,
respons kaum restorasionis merupakan respons yang paling
nyata. Respons kaum
restorasionis mencoba memulihkan beberapa versi ideal di masa lampau, dan
menyebutkan semua kegagalan dan kekalahan sampai penyimpangan jalan
yang lurus. Mulai dari negara sekular Mesir sampai Kerajaan Islam Wahabi Arab
Saudi, dari negara Syiah Revolusioner Khomenei sampai Republik Islam Pakistan, tidak putus-putusnya seruan perang
suci melawan
sekularisme,
rasionalisme, dan universalime. Karena itu sains modern dianggap sebagai wujud
penyembahan terhadap manusia yang berlebihan karena semuanya diukur oleh
kebutuhan kemanusiaan sebagai makhluk sekular. Apalagi sains modern tidak
dibimbing oleh nilai moral (etika), tetapi dibimbing oleh materialisme murni
dan kesombongan. Seluruh cabang pengetahuan dan penerapannya
tercemari dengan kejahatan yang sama. Sains dan teknologi sepenuhnya bergantung pada kumpulan ide-ide dan nilai-nilai yang
dihargai
oleh
anggota-anggotanya sendiri. Kaum restorasionis itu memiliki
rekomendasi dalam membangun sains sebagai berikut: Pertama
, tidak boleh ada fenomena atau fakta disebut tanpa merujuk kepada kebijakan
Allah. Kedua , pengarang sains
haruslah orang yang taat beragama. Ketiga , semua
kejadian alam -seperti hidrogen menjadi air harus dinisbatkan kepada
Allah. Keempat , pembahasan sains harus memuat ayat-ayat al-Q ur an. Kelima
, kelahiran semua sains harus dikembalikan kepada Ibn Sina, Jabir Ibn Hayyan,
dan sebagainya. Pola pikir ini pada
dasarnya ingin menyatakan bahwa semua kejadian merupakan kehendak Allah, sehingga tidak ada kejadian yang diluar
kehendak dan kekuasaan
Allah. Akibatnya, kaum restorasionis
tidak memberikan ruang kepada manusia untuk berbuat kreatif dan
kritis. Paradigma kaum restorasionis ini adalah anti-modernisme dan
anti-sainstime.
KAUM
REKONSTRUKSIONIS
Posisi kaum
rekonstruksionis bertentangan dengan kaum restorasionis yang anti-modernitas dan
anti-sains. Kaum rekonstruksionis menafsirkan kembali keimanan untuk
mendamaikan tuntutan peradaban modern dengan ajaran dan tradisi Islam.
Kelompk ini mengatakan bahwa Islam selama periode Nabi dan Sahabat bersifat
revolusioner, progresif, liberal, dan rasional. Masa setelah itu yang condong
kepada dogmatisme reaksioner yang terus melemah adalah berasal dari
keberhasilan taqlid atas ijtihad . Rasionalisasi terhadap semua ajaran Islam menjadi poin
inti kelompok ini sebagaimana yang digalakkan oleh Syed Ahmed Khan dan kawan-kawan. Pembelaan para tokoh
rekonstruksionis terhadap sains dan filsafat dirangkaikan dengan liberalisme
umum terhadap masalah-masalah kepentingan sosial-budaya. Misalnya, mereka
menolak poligami dan purdah karena dianggap sebagai sesuatu yang tidak
sesuai dengan zaman modern dan
menafsirkan perang intelektual sebagai arti sebenarnya dari jihad
. Mereka menegaskan bahwa Nabi berperang murni untuk
mempertahankan diri. Demikian juga dengan hokum potong tangan bagi
pencuri atau pelemparan batu bagi penzina hanya sesuai dengan masyarakat
kesukuan yang kekurangan penjara.
KAUM PRAGMATIS
Banyak bukti yang
menunjukkan bahwa mayoritas kaum Muslim yang bungkam sekarang ini
berasal dari golongan pragmatis. Mereka lebih suka memperlakukan persyaratan-persyaratan agama dan keimanan sebagai
sesuatu
yang secara esensial
tidak langsung berkaitan dengan masalah kehidupan politik dan ekonomi, atau dengan sains dan
pengetahuan sekular. Kaum pragmatis merasa puas dengan kayakinan
samar bahwa Islam dan modernitas tidak bertentangan, tetapi mereka
enggan menguji masalah-masalah tersebut dengan lebih dalam.
Misalnya, Jamaluddin al-Afgani sebagai salah satu tokohnya tidak menafsirkan kembali
teologi Islam sebagaimana pernah dilakukan oleh tokoh sezamannya, Syed
Ahmed Khan, dalam menjawab setiap perkembangan zaman. Sebaliknya,
al-Afgani menekankan Islam sebagai kekuatan terpadu untuk menentang kolonial
Barat. Sumbangannya yang nampak dalam masyarakat Islam adalah
penentangannya terhadap semua dominasi asing dalam dunia Islam. Kelompok ini mempunyai kelemahaman dalam persoalan
peletakkan ajaran
Islam karena hanya menjadikan ajaran Islam
sebagai legitimasi setiap tindakan praktisnya
tanpa ada upaya kritis dan kreatif dalam
menjawab setiap
perkembangan zaman. Selanjutnya, respons tiga kelmpok tersebut sama tidak
memadainya dengan
tawaran teori-teori sains yang digagas
beberapa tokoh berikut ini: (a) Maurice Bucaille,
yang meminta para pembaca kitab suci (al-Q uran dan Bibel) untuk merenungkan dengan beberapa fakta ilmiah. Setelah
merenungkan dan
mendapatkan berbagai
pengertian yang didapat ayat-ayat itu, dia menghimbau untuk menarik satu
yang sesuai dengan beberapa fakta ilmiah. Namun dari berbagai
penelitiannya terhadap kitab suci, dia menyimpulkan bahwa, apabila Bibel sering salah
dalam menggambarkan ejala alam, maka al-Q uran selalu benar dan dengan
tepat mengantisipasi semua penemuan-penemuan besar sains modern. Lebih jauh lagi, kesalahan-kesalahan
sainstifik yang terkandung dalam Bibel bisa ditemukan dalam
genealogi-genealogi (catatan keturunan
famili) yang ada
dalam Genesis, sementara itu kesalahan-kesalahan tersebut tidak ditemukan
dalam al-Quran. (Bucaille, 1998) Walaupun demikian, kita akan segera melihat
beberapa kelemahan teori berpikir ini secara metodologis; Pertama , terlihat bahwa
bukti dari suatu proposisi hanya akan bermakna jika kemungkinan
ketidakterbuktian proposisi itu juga ditampakkan. Karena itu seorang Muslim sudah
meyakini sejak mulai awal tentang kebenaran dan kemustahilan
kesalahan al-Q uran, maka sejak awal segala aktivitas penelitian dan pembuktiannya
sudah bisa ditegaskan kebenarannya dan kemustahilan salahn ya. Kedua
, adalah berada dalam keadaan bahaya kalau kita menggantungkan
sebuah kebenaran abadi pada teori sains yang selalu berubah. Kita akan selalu
berhadapan dengan temuan-temuan baru yang terus bergulir yang tidak akan
kunjung selesai selama kegiatan penelitian dan pemikiran terus berlajan. Sains
sudah pasti tidak akan memberikan kelonggaran dalam menilai dan menetapkan benar
tidaknya sebuah fenomena dan kejadian alam ini. Misalnya, teori
Bucaille menegaskan bahwa alam semesta yang selalu mengembang akan
mendapatkan tantangan keras kalau seandainya nanti ada penemuan baru yang
mengatakan alam semesta mengerut bukan mengembang. Karena itu kita perlu memposisikan al-Quran bukan sebagai
alat untuk melihat
keadaan diamnya bumi atau bergeraknya.
Begitu juga, tidak dibuktikan dari al-Q uran bahwa matahari diam.
Sedang posisi al-Quran adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan
moralitas (baca: transcendental etik). Dengan kata lain, kita perlu
membiarkan kebenaran sains ditegakkan oleh pangamatan dan
percobaan, dan bukan oleh usaha untuk menafsirkan teks-teks agama sebagai suatu
buku sains. (b) Demikian juga kita
harus menghindari keterjebakan pada pemikiran Seyyed H ossein Nasr yang terlalu
spekulatif
dalam mengkritik
sains Barat. Nasr mengatakan bahwa sains Barat harus ditinggalkan karena
apapun yang diyakini seorang ilmuwan (saintis) Islam tidak akan mampu mencegah
dampak-dampak negatif dari sains Barat itu walaupun ia sebagai seorang
yang taat beragama. Sedang tawaran sains islami Nasr adalah sains yang muncul
dari intelek yang bersifat ilahiah dan bukan akal manusia. Kedudukan intelek adalah di hati bukan di kepala, dan akal
tidak
lebih daripada
pantulan ruhaniah (Nasr, 1982, 1994, 1996). Yang terakhir (c) adalah Ziauddin
Sardar yang mengkritisi teori al-Faruqi yang menyatakan bahwa al-Faruqi salah
alamat ketika mengharuskan Islam harus sesuai dengan kebenaran sains. Padahal,
menurut Sardar, justru sains itulah yang perlu menyesuaikan diri dengan Islam. Kelemahan teori Sardar ini jatuh pada model berpikir rekonstruksionis.
PARADIGMA SAINS
KONTEMPORER
Untuk itu, paradigma
sains kontemporer (baca: sains masa kini) perlu menyuguhkan sesuatu
yang bisa menjadi pendorong bagi kemajuan dan kemaslahatan umat
manusia. Namun demikian yang perlu diingat adalah bahwa sains ini perlu merujuk
kepada nilai-nilai transcendental-etik, yaitu dengan menggunakan
paradigma berpikir yang bisa memenuhi kebutuhan masa kini dengan tanpa meninggalkan
paradigma rasional dan empiris-positivis. (Barbaur,2000). Hal ini penting
mengingat sains modern terlalu lekat
dengan rasionalisme dan empirisisme-nya,
dan sains Islam lekat dengan dogmatisme-teologisnya. Dengan demikian,
paradigma sains kontemporer perlu terus memberikan respons yang
intensif terhadap realitas aktual melalui pendekatan integrasi dalam menghadapi
setiap perubahan realitas sosial-budaya. Melalui ini, pemahaman (teori)
sains akan membuka ruang baru yang bisa mendukung para saintis untuk memandang
perkembangan sains dari perspektif yang lebih luas. Dalam
pola pikir ini, pemahaman sains tidak lagi muncul sebagai sebuah entitas yang
rigid dan berkembang secara linier; dari realitas secular maupun religius,
melainkan seperti sebuah tumbuhan yang bercabang-
cabang dalam
realitas sosial-budaya. Dengan kata lain, bagian-bagiannya saling terkait
secara dialogis. (Abdulla, 2004) Pemahaman sains yang
dikembangkan melalui realitas sosial-budaya juga mempunyai dampak
demistifikasi sains secara institusional maupun epistemologis. Karenanya kita sekarang perlu meninggalkan kesan dikotomis antara sains sekular
(modern) atau sains Islam. Hal ini sebagai usaha untuk menghindari sains
yang bersifat politis-ideologis sebagaimana yang terjadi pada Abad Pertengahan
yang anti-kritik dan abad modern yang in-human. Tanpa menafikan hasil
kreatifitas manusia dan nilai-nilai fitriah manusia yang religius, pemahaman sains pada
hakikatnya muncul dari realitas kehidupan manusia untuk mendukung semua
kebutuhan hidup manusia. Karena sains bukan hasil dari refleksi
sekumpulan kitab suci semata dan juga bukan
hasil refleksi dari realitas kehidupan manusia yang
sekular semata, kita sekarang perlu meletakkan pemahaman sains
sebagai realitas yang perlu terus didiskusikan untuk menjawab setiap perubahan,
baik perubahan ruang, waktu, maupun
pradigma berpikir
itu sendiri.
(Abdullah, 2003) Respons terhadap dimensi sosial-budaya sains perlu sebagai upaya
untuk membuktikan bahwa pengetahuan tidaklah tunggal dan tidak monolitik.
Dengan demikian, adanya kepercayaan yang menyatakan bahwa hanya ada satu
paradigma dalam melihat alam itu bertentangan dengan hakikat manusia
sebagai makhluk multikultural dan multireligius. D emikian juga sama
mustahilnya ketika berbicara keaneragaman pola piker/ paradigma
tanpa ada titik
temu, yang transcendental-etik. Namun bukan berarti
kita akan menganjurkan adanya relativitas, baik sains Islam maupun sains
modern, tetapi yang ingin dikatakan adalah bahwa kita perlu menancapkan obyektifitas sains yang mempunyai makna sejauh .
(rapar,
1996, Haber mas,
1971, Scruton, 1995) Artinya, nilai
obyektifitas sains perlu diletakkan dalam masing-masing
sudut pandang realitas sosial-budaya dengan tanpa meninggalkan
arti penting titik temu; transcendental-etik. Karenanya kita saat ini tidak lagi
berbicara sains Islam atau sains modern sebagai alat jastifikasi, tetapi yang
dibicarakan adalah bagaimana sains itu benar-benar relevan baik secara konteptual
maupun praktis dengan kemaslahatan umat manusia. Persoalan pembelaan
terhadap sains Islam yang bersifat dogmatik-teologis dan sains modern
yang bersifat obyektif-positivistif perlu digugat karena telah melupakan hakikat
manusia yang bersifat sekular-material dan sekaligus religius-immaterial. Dari
hal ini, kita sekarang bisa mempertimbangkan paradigm sains yang
ditawarkan oleh Al-Farabi yang mengupayakan agar sains memberikan
kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagaimana ia menyatakan bahwa kebahagiaan ter
tinggi dalam kehidupan nanti (al-sa adah al-ak hirah) mensyaratkan
kebahagiaan dalam kehidupan sekarang (al-sa adah al-dunya), yang disebutnya dengan
kesempurnaan awal manusia . Al-Farabi, 1997) D engan demikian, Al-Farabi
pada dasarnya ingin mengatakan bahwa al-sa adah al-ak hirah sangat ditentukan
oleh kebajikan dan kerja-kerja sains saat ini dan al-sa adah al-akhirah sebagai
realitas (baca: postulat rasio praktis) yang memberikan keleluasaan bagi intuisi (baca: irfan
) manusia untuk membaca realitas metafisik dapat menjadi kekuatan transcendental-etik di antara masing-masing elemen
epistem; rasio, materi, dan intuisi tanpa ada dominasi diantara salah
satu epistemnya, yang dalam istilah penulis
disebut kebenaran sejauh sebagai paradigma sains yang integral di masa
kini. Dari sini, penulis mendukung
paradigma sainsnya Ar mahedi Mahzar berikut (Mahzar, 2004):
Tabel
Skema Integralisme
Islam
Kategori Ontologi
Epistemologi Aksiologi
Integralisme
(Kalam)
(Tasawwuf)
(Fiqh)
Esensi Maha Pencipta Iman
Transendental
(Sumber)
(Dzatullah) (Ruh) (Qurani)
Prinsip
Keserasian Intuisi Universal
(Nilai) (Sifatullah) (Qalb / Hati) (Sunna)
Program
Kesadaran Akal
Kultural
(Informasi) (Amrullah) (Aql) (Ijtihadi)
Proses Kehidupan Naluri
Sosial
(Enegri) (Sunnatullah) (Nafs) (Ijma)
Struktur Kebendaan
Indera
Instrumental
(Materi) (Khalqillah) (Jism) (Urf)
Inilah paradigma
integralisme Islam yang dimaksud dalam tulisan ini, sedang
dukungan penulis
terhadap paradigma integralisme sains Islam dari Armahedi Mahzar yang tertuang
dalam tabel itu adalah untuk memperjelas dan mempertegas uraian
dari gagasan penulis tentang transcendental etik dan teori keberanan
sejauh yang diajukan dalam tulisan ini
sebagai pembeda dari paradigma sains modern. Selain itu, paradigma ini
juga untuk membedakan dan sekaligus mengkritik gagasan
kaum restorasionis, rekonstruksionis, dan pragmatis dari
kalangan sainstis Muslim. D engan demikian, paradigma sains masa kini perlu
dijalankan secara dialogis-kritis di antara masing-masing elemen, baik ontologis,
epistemologis dan aksilogis dengan memasukkan realitas spiritual, selain unsur r
ealitas rasional dan empiris-positivistik. Sedang
supaya mendialogkan secara kritis
di antara unsur ontologis (apa), epistemologis (bagaimana), dan
aksiologis (untuk apa) akan saling memberikan makna. Unsur ontologis akan
menentukan unsure epistemology, dan unsur
epistemologi juga menentukan unsur aksiologi. Hal-hal yang mengantarai
realitas spiritual, rasional dan empiris-positivistik itulah
yang diyakini akan adanya unsur transcendental- etik dan kebenaran
sejauh.
PENUTUP
Paradigma sains pada
dasarnya berjalan secara bergelombang dalam memposisikan
realitas empiris, rasio, dan wahyu (baca: liberalisme dan dogmatisme) yang
pada akhirnya sains ketika berkembang mencapai puncaknya di masa modern, ia
menghadapi problem ontologis,
epistemologis dan aksiologis.
Pertama , problem
ontologisnya muncul karena sains modern bercorak
materialistik, mekanistik dan atomistic (reduksionistik). Kedua, problem epistemologisnya
muncul karena sains modern bercorak rasionalistik dan empirisis-positivistik
dalam mengamati realitas. Ketiga , problem aksiologisnya muncul karena sains
modern itu menganut paham bebas nilai, humanistik dan individualistik.
Dalam konteks ini, para sainstis Muslim berusaha menjawabnya walaupun jawabannya
sangat jauh dari rasa memadai, bahkan
sering terjebak kepada islamisasi yang tidak rasional dan dogmatik-teologis. Dari hal tersebut,
paradigma sains yang dibutuhkan masa kini adalah yang bias memberikan
keleluasaan untuk membangun kemaslahatan umat manusia, yaitu; paradigma sains yang
meletakkan nilai rasionalisme, empirisme, positivism dan nilai intuisi (realitas
spiritual) sebagai unsur epistemnya secara seimbang dan dialogis-kritis.
Dengan ditambahnya unsur intuisi, maka problem ontologism dan aksiologis dari sains modern bisa dicari jalan
keluarnya secara memadai.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arkoun, Muhammad, 1992 A ina Huwa al-Fik r al-Mu ashir, terj. Hasyim
Shaleh,
Beirut: Dar al-Saqi,
Abdullah, M. Amin,
2002, Antara Al-Gazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, terj.
Hamzah Bandung:
Mizan,
Al-Taftazani, Abu
al-Wafa al-G hanimi, 1997, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.
Ahmad Rofi Utsmani,
Bandung: Pustaka,
Al-Q usyairi, Abu
Qasim Abd al-Karim, 1959 Al-Risalah , Mesir: Beirut,
Al-Jabiri, Muhammad
Abid, 1993, Bunyah al-A ql al-A rabi, Beirut: al-Markaz
Tsaqafi al- Arabi,
Bakar, Osman, (ed.),
1996, E volusi Ruhani; Kritik Perenial Teori Darwin, terj. Eva
Y. Nukman, Bandung:
Mizan,
Barbour, Ian G.,
2000, Juru Bicara Tuhan: A ntara Sains dan Agama, terj. E.R.Muhamad,
Bandung: Mizan,
Bagus, Lorens, 2000,
Kamus Filsafat, Jakarta: G ramedia,
Baidowi, Ahmad, dkk,
(peny.), 2003, Rekosntruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman,
Yogyakarta: SUKA-Press,
Bertens, K., 1999, Sejarah
Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius,
Bucaille, Maurice,
1998, A sal-Usul Manusia Menurut Bibel A l-Qur an Sains, terj.
Rahmani Astuti,
Bandung: Mizan,
Crick, Francis,
1994, The A stonishing Hypothesis: The Scientific Search for the Soul
New York: Scribner,
Ghulsyani, Mahdi,
1998, Filsafat Sains Menurut Al-Quran, terj. Agus
Effendi,
Bandung: Mizan,
Habermas, Jurge,
1971, Knowledge and Human Interests, trans. by Jeremy J. Shapiro,
Boston: Beacon
Press,
Hoodhhoy, Pervez, 1996,
Ik htiar Menegakkan Rasionalitas; Antara Sains dan
Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia,
Bandung: Mizan,
Iqbal, Muzaffar,
2002, Islam dan Science, England: Asgate,
Jurnal A l-H ikmah, No 15, Vol.VI/
1995
Kuntowijoyo, 1993, Paradigma
Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung:Mizan,
Mahzar, Armahedi,
2004, Melampaui Paradigma Holistik: Sintesa Integralisme Islam
Pos-N ewtonian, Makalah
disampaikan pada Acara Seminar IAI N Sunan Kalijaga Yogyakarta
Muzani, Saiful,
(ed.), 1996, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun
Nasution, Bandung: Mizan,
Muhadjir, Noeng,
2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
Noor, Kautsar
Azhari, 2002, Tasawuf Parennial; Kearifan k ritis Kaum Suf, Jakarta:
PT Serambi Ilmu
Semesta,
Nasr, Sayyed
Hossein, 1982, Islam and Contemporary Society, London: Logman
Group,
Rapar, Jan Hendrik,
1996, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius,
Rahardjo, M. D awam,
1996, Intelek tual Intelgensia dan Perilak u Politik Bangsa:
Risalah Cendekiawan
Muslim, Bandung: Mizan,
Runes, D agobert D.,
1976, Dictionary of Philosophy, New Jarsey: Little Field,
Soetomo, G reg,
1995, Sains dan Problem Ketuhanan, Yogyakarta: Kanisius,
Syahrur, Muhammad,
1994, Dirasah al-Islamiyah Mu ashirah, Beirut: Damaskus,
Suriasumantri, Jujun
S., (peny), 1997, Ilmu dalam Perspek tif; Sebuah Kumpulan
Karangan Tentang Hak
ek at Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,
Suseno, Franz
Magnis-1997, 13 Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani Sampai Abad
ke-19, Yogyakarta:
Kanisius,
Scruton, Roger,1995,
A Short H istory of Modern Philosophy fron Descartes to
Wittgenstein, New York:
Routledge,
Tim Dosen
(peny.),2001, Filsafat Ilmu, Yogyakrta: Liberty,
Titus, Harold H., dkk.,1984,
Persoalan-persoalan Filsafat , terj. M. Rasyidi, Jakarta:
Bulang Bintang,
Yinger, J.
Milton,1957, The Science Study of
Religion , New York: Macmillan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar